- Back to Home »
- Kajian , PMII »
- Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kajian keislaman
Posted by : Unknown
Apr 11, 2016
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat PKD
Oleh :
Tubagus Bakhtiar Rifa’i
PMII
Rayon Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Komisariat Universitas Islam
Nusantara (UNINUS)
Cabang
Kota Bandung
2014
Pengantar
Telaah
terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian
keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu
yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi
oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu.
Pemaksaan
suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini,
sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan
pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah
yang senantiasa membutuhkan interpretasi
sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita
antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah
al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah)
serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah) [1]
Berangkat
dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana
meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr)?.Jika
mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka
pembaharuan yang bagaimana bisa relevan
dengan kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah aswaja
yang telah dikembangkan selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam
kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan menjadi tulisan dalam tulisan
ini.
1. Said Aqil Siradj : 1998
Aswaja
Dan Perkembangannya
Melacak
akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak
Rosulullah SAW. Kemunculan beberapa aliran teologis dalam ilmu
kalam disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Kondisi Zaman Yang Terus Berubah, Terkontaminasi Politik & Kepentingan, Kondisi Masyarakat yang Plural, Jauhnya umat dari ‘Ainussyari’ah, Tantangan dalam Berdakwah, Fanatisme/Taqlid Buta, Sikap Egoisme.[2] Sebagai
konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan
dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran
sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat
yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi,
tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses
konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam asy-Syafi’I (w.205 H/820 M)
berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam
konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang
teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan
kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain
pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini
dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang
bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu
Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkandi, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M)
di Mesir.[3]
Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran
pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi
teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh
As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
2.
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH:TINJAUAN
FILOSOFIS Prof. Dr. H. M. Solihin,MAg.
3. Nourouzzaman Shidiqi : 1996
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) ta’adul (tegak lurus)[4]. Perkembangkan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak.
Aswaja
Sebagai Manhaj al-fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog
klasik dapat dikategorikan menjadi empat
kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran
Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok
tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh
Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang
pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili
oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang
dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja
dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama
melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama.
Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang
ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada
banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam
mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja
sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan
akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya
dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga
tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan
mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan
teologis yang telah ada.
4. K.H
Muhyiddin abdusshomad, hujjah NU 2008
Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’adul (tegak membela kebenaran). Aktualisasi dari prinsip tawasuth adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Artnya, dalam prinsip ini para kader pmii harus mampu menghargai dan menghormati perbedaan dari orang lain yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Prinsip selanjutnya adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis. Kemudian yang terakhir prinsip ta’adul (tegak lurus). Tegak lurus disini dapat diartikan bahwa, konsep dasar aswaja menggambarkan prilaku kehidupan seseorang yang berani dengan tegak membela kebenaran, karena allah s.w.t menjadi saksi yang menentukan kebenaran yang adil. Karena pada dasarnya, kebenaran yang nampak jelas dengan penglihatan yang objektif harus ditegakkan dan melibatkan tuhan sebagai saksi dari kebenaran tersebut dengan maha adilnya.
Dalam
tataran praktisnya, bahwa prinsip-prinsip itu dapat terwujud dalam beberapa hal
sebagai berikut : Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang
sosial-politik.
1. AQIDAH
Dalam
bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan),
berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada
tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat
dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah
tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis
berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah
yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama
(Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya. Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar
yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan
wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan
sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju
jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk
umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.
Pilar
yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan
dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka
yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.
2. BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya
memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan
Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan
komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya
sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
Prinsip
Syura (musyawarah), Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. (QS Al-Syura,
42: 36-39)
Prinsip
Al-‘Adl (Keadilan), Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan
dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan,
apapun bentuk pemerintahan itu. (QS An-Nisa, 4: 58)
Prinsip
Al-Hurriyyah (kebebasan), Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi
setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan
Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu: Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa),
Hifzhu al-Din (menjaga agama), Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda), Hifzhu
al-Nasl (menjaga asal-usul, identitas), Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga
diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Prinsip
Al-Musawah (Kesetaraan Derajat), Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT.
Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak
ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang
lain.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
3. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir
seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, Qiyas
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah
oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW,
sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau
digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam
Al-Qur’an.
Menurut
Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok
legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf
dari ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Qiyas,
sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.
Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain
yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4. TASAWUF
Imam
Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan
dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau
berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”
Imam
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari
apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di
Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka
adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain
Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang
membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada
semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid,
lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan
kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus
dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat
duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari
keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba
dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan),
kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu
kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum,
persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan
urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin
sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan
segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
E. PENUTUP
Sebagai
metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar
teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya
pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita
upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami
sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut,
semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan
gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh
menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif
kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi
kebutuhan objektif. Karena itu, yakinlah apa yang anda percayai
saat ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan
bahwa semuanya itu bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Joss, salam pergerakan
ReplyDelete