- Back to Home »
- Buku , filsafat »
- Resensi Buku tiga madzhab utama filsafat islam
Posted by : Unknown
Jan 3, 2017
Laporan Buku
Judul Buku : Tiga Mazdhab Utama Filsafat Islam
Penulis : Sayyed Hossein Nasr
Penerbit : IRCiSoD, Diva Pess (Yogyakarta, Maret 2006).
Tahun terbit :
Oktober 2014
Jumlah Halaman :
244 Halaman
Berat :
400 gr
Ukuran :
14x20 cm
Memahami
filsafat Islam dalam konteks klasik tidak mudah, karena filsafat Islam
merupakan suatu kearifan yang memberi gema agama Islam khususnya akan hakekat
wujud (metafisika) kedalam filsafat Yunani.(hal.7-14) Pernyataan tersebut
memunculkan tanda tanya, tentang apakah filsafat merupakan bagian dari khazanah
intelektual Islam? Atau filsafat merupakan peradaban barat yang ditransmisikan
dalam Islam. Sehingga, penulis yang sangat kritis akan segi historis lahirnya
filsafat dalam Islam. Khususnya perkembangan tradisi intelektual Islam dengan
berkuasanya Dinasti Abbasiyah, dibawah kekuasaaan Harun al-Rasyid, al-Ma’mun
dan al-Mu’tasim, yang sangat perhatian pada ilmu-ilmu pra muslim pada kurun
waktu dua abad ( 750-1000 M ), banyak karya-karya metafisik, filosofis dan
ilmiah diterjemahkan ke bahasa arab oleh Hunain Ibn Ishaq (m. 873 ) beragama
Kristen dan Tsabit bin Qurra (m.901) beragama Zoroaster yang kemudian masuk
Islam. Melalui terjemahan merekalah
Islam membentuk dasar-dasar madzhab filsafat dan pengetahuan sesuai pernyataan
Seyyed Hossein Nasr, “come into being as a result of the application of Islamic
principles to the various forms of knowledge thereby inherited and the
integration of these forms of knowledge into the Islamic perspective” terwujud
sebagai hasil dan penerapan prinsip-prinsip islam dengan berbagai bentuk
pengetahuan demikian demikian mewarisi dan mengintegrasi bentuk-bentuk
pengetahuan kedalam perspektif islam. Dengan demikian, penulis mencoba
memaparkan secara konkrit pemikiran serta perkembangan tiga madzhab utama
filsafat Islam tentang konsep teologi serta komponen-komponen ilmu yang
mewujudkan proses illuminasi Allah kepada hamba-Nya sebagai konsep intelektual
ahli hikmah terkemuka.
BAB 1
Ibnu Sina (Avacenna) dan Filsuf-Ilmuwan
Pada
bab pertama, penulis membahas tentang filsafat Peripatetik dalam Islam yang
didirikan oleh Al-Kindi "the first philosopher of the Arab dan
dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan mengintegrasikan pemikiran filosof Islam
sebelumnya yaitu, al-Farabi dan al-Razi. Setelah mengenyam pendidikan di
Bagdad, Al-kindi mulai mendalami ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa
arab dan berupaya memadukannya dalam perspektif Islam. Sesuai, kutipan pada
karyanya Treatise on Metaphysics, “ Kita seharusnya tidak pernah malu untuk
mengakui kebenaran dan sumber manapun yang datang kepada kita. Sedangkan,
tentang persoalan agama, al-Kindi sebagai donator pemikiran Ibnu Sina setuju
dengan teologi mu’tazilah dengan mengedepankan struktur filosofis bahwa wujud
penciptaan di dunia ini tergantung pada kehendak tuhan. Padahal secara nyata,
Allah mempunyai sifat kehendak dan melaksanakan yang terwujud dalam suatu
realitas (immanen).
Ibnu
sina pemikirannya sangat domain terhadap metafisika dan ilmu pengetahuan,
walaupun metafisika suatu perangai baginya tetapi ia terus berusaha dalam
memahaminya, sesuai pernyataan ini : “ At
the age of sixteen he was the master of all the siences of his day except for
metaphysics as contained in the Metaphysics of Aristoteles which, though he
read it over many times and memorized it, he could not understand “ pada
usia enam belas tahun, dia telah mahir ilmu pengetahuan pada masanya, kecuali
metafisika sebagaimana yang tercantum dalam metafisikanya Aristoteles, meskipun
ia membaca lebih berkali-kali dan menghafalnya, ia tidak bisa mengertinya.Tapi
hambatan tersebut teratasi dengan komentar al-Farabi terhadap Aristoteles dalam
karyanya metafisika yang kompleks.
Sedangkan
Ontologi Ibnu Sina secara esensial berkenaan dengan kajian terhadap wujud serta
seluruh distingsi mengenainya menempati peran sentral dalam spekulasi-spekulasi
metafisiknya. Menurutnya,” the reality of
a thing depens upon its existence, and the knowledge og an object is ultimately
the knowledge of its ontological status in the chain of universal existence
which determines all of its attributes and qualities” Hakikat sesuatu
tergantung pada eksistensinya dan pengetahuan atas sebuah objek pada puncaknya
adalah pengetahuan terhadap statu ontologisnya dalam rangkaian eksistensi
universal yang menentukan seluruh atribut dal kualitasnya. Intinya, Tuhan lebih
awal dari semesta dan bersifat transenden. Sedangkan, kajiannya tentang
eksistensi pada segala sesuatu tidak terlepas dari distingsi fundamental yang
menerangkan kemungkinan.(hal.52-53) Maka kapanpun orang berfikir eksistensi
pasti terdapat 2 aspek berbeda pada kerangka berfikirnya, yaitu : 1). Esensi
atau kuiditasnya, serta 2). Eksistensi.(hal.53-54) Maka wujud abadi menurut
ibnu Sina adalah substansi atau aksidensi` yang sesuai dengan kategorinya
terbagi menjadi tiga macam : a). Intelek (‘aql) sepenuhnya terlepas dari materi
dan potensialitas; b). Jiwa (nafs) yang terlepas dari materi tapi butuh pada
tubuh untuk bertindak; c). Tubuh (jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang
lebar dan luas, karena itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi
tiga unsur tersebut dalam wilayah kosmik.
Sementara
kajian kosmologinya mengikuti platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha
menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang Satu (ex uno non fit
nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama) penciptaan itu terjadi, yang
pada saat bersamaan transenden dalam kaitannya dengan seluruh keragaman
(multiplicity). Sedangkan proses penciptaan, atau manifestasi, terkait erat
dengan fungsi dan signifikan malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan
penciptaan sebagai akal pertama yang disetarakan dengan malaikat disusul akal
yang kedua yaitu jiwa dan tubuh akal langit pertama. Dan melalui kontemplasi
akal pertamalah melahirkan akal selanjutnya sampai kesupuluh terpancar
illuminasi dan penciptaan Tuhan.
Namun,
agama dan wahyu Ibnu Sina terungkap pada misinya yang memiliki dua aspek utama,
yaitu : pertama, mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan
keimanan terhadap eksistensi tuhan; kedua, agama mengarahkan pada aspek-aspek
praktis sebagai tindakan ritual. Aspek diatas, mengakhiri filsafat Perepatetik
Ibnu Sina yang ditafsirkan pada katedral kosmik dalam realisasi spiritual yang
disebut filsafat Timur. (hal.78-85) Pemikiran Ibnu Sina banyak diwarnai filosof
Yunani dan mentransformasikannya pada ajaran agama, ilmu pengetahuan dan
filsafat Islam.
BAB 2
Suhrawardi dan Kaum Iluminsionis
Pada
bab dua, menjelaskan filsafat Islam yang mengalami masa transisi dari
peripatetik menuju Isyraqi. Dimulai ketika teologi al-Asya’riyah mulai didukung
oleh lingkungan pejabat pemerintah, begitu juga serangan Ghazali sangat keras
terhadap para filosof dalam pembatasan kekuasaan rasionalistik dan menjadikan
sufisme bisa diterima dikalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan keruntuhan
filsafat peripatetik di kawasan Timur dan beralih ke barat –Andalusia.
Disamping itu, Suhrawardi
sebagai ahli hikmah dan Syaikh al-Isyraq doktrin-doktrinnya telah menggantikan
filsafat peripatetik. Pada masa hidupnya ia menulis puluhan buku, diantaranya
empat karya besarnya yang bersifat doktrinal dan didaktik, seperti; al-Isyroqi,
tetralogi, muqawamat dan mutharahat ketiga-tiganya berbicara tentang modifikasi
filsafat aristoteles dan yang terakhir maha karyanya Hikmat al-Isyraq, didalamnya
mencakup: a). Risalah-risalah yang pendek dalam bahasa arab dan Persia tentang
tetralogi yang di uraikan dalam bahasa yang sederhana; b).Cerita-cerita msitik
dan simbolik melukiskan perjalanan jiwa melintas kosmos menuju ilmuninasi dan
pencapaian puncaknya; c). Transkripsi, terjemahan dan uraian atas karya-karya
filsafat awal serta naskah-naskah suci; d). Doa-doa dan permohonan dalam bahasa
arab.
Sumber
doktrin Isyraqi Suhrawardi meliputi sufisme (Hallaj dan al-Ghazali) dan
beberapa bagian filsafat peripatetik Ibnu Sina, yang ia kritik sebagai dasar
penting atas doktrin-doktri al-isyraqi. Ia mengidentifikasi dirinya dengan
sekelompok ahli hikmah Persia yang memiliki doktrin esoterik didasarkan pada
kesatuan Dasar Ilahiah dan sebagai sosok yang mengangkat tradisi tersembunyi
dalam komunitas Zoroastrian sekaligus penyatu kembali al-hikmah al-ladunniyah,
atau Kebijaksanaan Ilahiah dan kebijaksanaan kuno.
Menurut
Suhrawardi makna Isyraqi adalah sintesis dua kebijaksanaan dari permulaan
keahlihan berasal, yang terkait erat dengan Hermitisisme. Definisi tersebut
menggabungkan Isyraqi dengan periode pra-Aristotelian sebelum filsafat
dirasionalisasikan dan ketika intuisi intelektual masih merupakan jalan
pencapaian pengetahuan. Sedangkan kebijakasanaan Isyraqi sendiri berdasarkan
diskursif dan intuisi intelektual, melalui latihan formal terhadap pemikiran
dan juga pembersihan jiwa berdasarkan empat kategori, yaitu : 1). Mereka yang
mulai merasa haus atas pengetahuan lalu berusaha mencarinya; 2). Mereka yang
telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat diskursif tapi
masih asing dengan gnosis, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi; 3). Mereka yang
tidak peduli dengan bentuk pengetahuan-pengetahuan diskursif, karena telah
membersihkan jiwa hingga mencapai intuisi intelektual dan pencerahan batin
(illumiinasi), seperti Hallaj, Bustami dan Tustari; 4). Mereka yang telah
menyempurnakan filsafat diskursif dan juga illuminasi yaitu hakim muta’allih-
secara harfiah teosof, seperti Pythagoras dan Plato
Pada kategori-kategori ini
terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang samawi atau tak terindera,
dipuncaknya terdapat kutub atau imam, yang karenanya seluruh bagian hirarki
spiritual bertindak sebagai wakil-wakilnya.
Ia
juga mengiritik definisi filsafat Peripatetik aliran Aristoteles termasuk
logika, yang telah mereduksi sembilan aksiden menjadi empat, yaitu relasi,
kualitas, kuantitas dan gerak. Begitu juga pada Peripatetik Muslim (Ibnu Sina),
bahwa dalam setiap sesuatu yang ada (exist), eksistensi merupakan prinsip (ashl)
dan realitas esensi tergantung pada eksistensi. Padahal, menurutnya ada esensi
yang memiliki realitas serta prinsip, sedang eksistensi memerankan peran
sampingan dari aksiden yang ditambahkan pada esensi yaitu prinsipialitas
esensi.
Sedangkan
ontologinya menyatakan bahwa, seluruh realitas tidak lain berasal dari cahaya
yang memiliki beragam tingkatan dan intensitas yang menciptakan segala sesuatu
yang pencapaian sepenuhnya pada tahap illuminasi atau penyelamatan.
Kehidupan manusia yang tidak
akan abadi karena fisiknya akan mangalami kevakuman dan kematian walaupun
jiwanya akan selalu hidup. Oleh sebab itu, dalam filsafat eskatologinya, ia
menerangkan kondisi jiwa setelah kematian tergantung pada tingkat kemurnian dan
pengetahuan yang telah ia capai, berdasarkan tiga kelompok jiwa: 1). kelompok
jiwa yang mencapai ukuran kemurniaan dalam kehidupan, 2). kelompok jiwa yang
digelapkan pada kebodohan dan kejahatan, dan 3). kelompok jiwa yang telah
mencapai kesucian dan illuminasi dalam hidupnya, yaitu para wali atau para
teosof.
BAB 3
Ibnu ‘Arobi dan Kaum Sufi
Pada
bab terakhir, penulis menjelaskan pemikiran sufisme Ibnu Arabi' dan kesatuan
doktrin dan metode pada ajarannya. Bahwa sufisme bagi Ibnu Arabi' merupakan
sebuah jalan realisasi spiritual dan pencapaian kesucian. Sedangkan gnosis
merupakan aspek wahyu dalam Islam yang pada dasarnya bagian dari jantung dan
dimensi batin atau esoterik dalam diri manusia. Realitas doktrin-doktrin
sufisme, berdasarkan Wahyu yang terkait erat dengan ruh (spirit) dan bentuk
lahir (from), maka tokoh utmanya yang paling awal dan sempurna adalah Nabi
Muhammad, setelahnya diwakili esoterisme Islam, ‘ Ali bin Abi Thalib.
Perlu
kita ketahui, bahwa sosok Ibnu ‘Arabi sangat erat dengan doktrin-doktrin
kosmologis dan metafisik serta psikologis dan antropologis yang lengkap dari
dimensi monumental yang pertama kali tampak pada Sufisme. Dalam tulisannya,
kita bertemu dengan formulasi-formulasi seperti kesatuan transenden wujud dan
manusia universal yang ditunjukkan pertama kali, meskipun realitasnya sudah ada
sejak awal tradisi Sufisme.
Pada
ajaran Ibnu’Arabi, doktrin dan metode merupakan dua kaki yang harus
dikoordinasikan agar bisa memanjat gunung spiritual. Beberapa doktrin ibnu
‘Arabi diantaranya, yaitu:
- Bahasa Simbolik, dari semua simbolis hingga geometrik dan
matematik, dalam bahasa arab, fenomena alam, ayat-ayat al-qur’an yang
mengandung wahyu dan keadaan jiwa yang disebut ayat.
- Kesatuan Wujud, adalah kesatuan transendental Wujud yang
membuatnya dituduh sebagai panteis, panenteis dan monis eksistensial oleh
sarjana modern. Padahal maksudnya, ia adalah transenden dalam kaitannya
penampakan-Nya melalui wahyu yang tidak sepenuhnya terpisah dari Tuhan.
- Nama-Nama dan Sifat-Sifat pada Tuhan, diatas segala sifat tapi
tidak terlepas dari sifat-sifat yang merupakan esensi dzat-Nya.
Pandangannya pada esensi tuhan terletak antara tanzih dan tasybih, dengan
meletakkan pada saat yang sama.
- Manusia Universal atau logis, pada esensinya memiliki tiga aspek
berbeda, yaitu : kosmologis, profetik dan inisiatik.
- Penciptaan dan Kosmologis, pada dasarnya merupakan wujud yang
ditampakan oleh cahaya melalui kosmik atau seperangkat cermin wujud
realitas tuhan.
- Kesatuan, yaitu penyatuan dengan tuhan yang merupakan hasil dari
manusia kepada keindahan tuhan. Dengan menyadari bahwa eksistensi kita
sejak awal adalah milik Tuhan, dan manusia semulanya tidak memiliki
eksistensi. Jadi semua eksistensi merupakan pancaran Wujud Tuhan yang
mutlak.
- Kesatuan Agama-Agama, maksudnya adalah keseluruhan umat beragama
berjuang untuk mencapai makna batin dan universal pada wahyu secara alamiah
tanpa penolakan.
Kesimpulannya, Pada dasarnya
bentuk pemikiran dan filsafat Ibnu Sina merupakan konsekuensi dari ilmu-ilmu
filsafat Yunani kuno, seperti Aristoteles, Plato dan lainnya. Yang mana
mentransformasikan filsafat peripatetik dalam Islam, maka ia merupakan bagian
dari Arabic Philoshopy. Sedangkan pondasi pemikiran Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi
dalam ilmu pengetahuan dan filsafat adalah wahyu Allah. Yang dipelajari agar
mendapatkan illuminasi Illahi, sesuai dengan pendahulunya yaitu Ghazali,
al-Razi dan lainya. Mereka juga menolak keras filsafat peripatetik Aristotelian
dan menghancurkan rasionalistik barat. Tetapi madzhab mereka condong pada
ajaran sufisme. Jadi Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi merupakan bagian dari Islamic
Philoshopy.
Sistematika penulisan
"Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam" lebih mengutamakan proses
transisi dari pemikiran beberapa filosof klasik yang dintegrasikan oleh Ibnu
Sina dalam pengembangannya terhadap filsafat Peripatetik. Kemudian gagasan
tersebut dihujat oleh pemikiran Suhrawardi dalam filsafat al-Isyraqi. Sebagai
wujud dari ketidak setujuannya terhadap filsafat Peripatetik yang tidak
mengakui wujud Tuhan secara mutlak melalui beberapa aspek, diantaranya: wujud
Tuhan (metafisika), ontologinya yang berkaitan erat dengan proses kosmologi
atau penciptaan alam, yang mana seluruhnya berdasarkan pemikiran filosof Yunani
yang tidak mengetahui konsep Tuhan secara kompleks. Dan puncak dari al-Isyraqi
sebagai signifikasi ilmu laduni atau khuduri dikembangkan oleh Ibnu Arabi'
melalui doktrin dan metodenya yang berlandaskan wihdatul wujud yaitu
kepercayaan bahwa eksistensi manusia merupakakan wujud dari Sumber eksistensi
di alam ini yaitu Tuhan.
Sehingga judul yang sesuai bagi
buku ini adalah Tig a Madzhab Utama Filsafat Islam (Studi Historis
Masa Transisi Filsafat Peripatetik menuju Filsafat Illuminasi). Karena makna
utama dalam filsafat Islam sangat luas dan universal dan didalamnya, penulis
juga lebih kompleks dalam menerangkan masa transisi filsafat Islam dari
filsafat Peripatetik menuju ke pemikiran Suhrawardi yang lebih dikembangkan
oleh Ibnu Arabi' yaitu filsafat Illuminasi.
Kelebihan Buku
Kelebihan Buku dengan judul Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam ini terletak pada susunan
pembahasan yang ada di dalamnya. Dimana penulis dengan rinci menceritakan
transisi pemikiran filsafat Peripatetik menuju Filsafat Iluminasi. Dalam buku
tersebut diceritan pula kronologis pembelajaran dan biodagrafi singkat para tokoh
penggagas perippatetik yang mentransformasikannya dalam islam seperti al-kindi,
ibnu dan sina. Juga penolakan terhadap filsafat peripatetik yang dicetuskan
oleh suhrawardi dengan filsafat isyraqi sebagai bentuk penghujatan terhadap
filsafat peripatetik. Serta dalam buku ini dilengkapi dengan catatan kaki, dan
Indeks yang lengkap.
Kekurangan Buku
Kekurangan buku ini terdapat pada pembahasannya yang
mana langsung menjuru pada inti dari filsafat secara pengembangannya, tanpa
penutur dasar sebelumnya. Sehingga para pembaca mungkin merasa agak kesulitan
untuk memahaminya.
mantaps
ReplyDelete