- Back to Home »
- Sejarah , Tokoh »
- Bung Karno dan Ahmadiyah
Posted by : Unknown
Jan 3, 2017
Benarkah Bung Karno Penganut Ahmadiyah ?
Tokoh politik dan tokoh agama pada umumnya dipegang oleh
tokoh yang berlainan, tetapi rumusan ini tidak berlaku untuk sosok Bung Karno.
Demikian tingginya nilai jual Bung Karno sehingga berbagai golongan saling
berebut untuk menjadi pengikut Bung Karno, atau dengan tanpa rasa segan mereka
menyebut Bung Karno menjadi pengikut aliran atau golongan yang mereka pimpin.
Ahmadiyah sebagai sebuah sekte keagamaan yang senantiasa
menimbulkan kontro versi ternyata juga tidak segan-segan untuk mengklaim Bung
Karno sebagai pengikutnya. Langkah ini diambil guna mempercepat pertumbuhan
Ahmadiyah di Indonesia.
Bayangkan, entah untuk maksud diskredit, atau maksud mencari
dukungan, Bung Karno pernah dikabarkan sebagai pendiri Ahmadiyah dan
propagandis Ahmadiyah di bagian Celebes (Sulawesi). Bagi yang anti-Sukarno,
berita itu bisa dijadikan alat untuk mendiskreditkannya. Sementara bagi
penganut Ahmadiyah, “mencatut” nama besar Bung Karno sebagai pendiri Ahmadiyah,
bisa menjadi alat propaganda yang luar biasa.
Kabar itu ditiupkan sekitar tahun 1935, tahun di mana Bung
Karno (dan keluarga) hidup dalam pembuangan di Endeh. Kabar itu dibawa kawan
Bung Karno yang baru datang dari Bandung. Ia mengabarkan bahwa suratkabar Pemandangan
telah memasang entrefilet atau semacam maklumat yang menyebutkan bahwa Bung
Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah sekaligus menjadi propagandis Ahmadiyah
bagian Celebes (Sulawesi).
Saat kabar itu diterima, suratkabar Pemandangan belum lagi
sampai di Endeh. Tapi Bung Karno percaya dengan si pembawa kabar. Karenanya, ia
berpesan kepada temannya itu untuk langsung melakukan counter, bantahan.
“Katakan, bahwa saya bukan anggota Ahmadiyah, jadi mustahil saya mendirikan
cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes!
Sedangkan pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari
Endeh, saya tidak boleh!” tegas Bung Karno.
Bung Karno sendiri menengarai, dikait-kaitkannya nama dia
dengan Ahmadiyah, sangat mungkin karena intensitasnya mempelajari agama (Islam)
selama di Endeh. Ia bersurat-suratan dengan H. Hassan, seorang ulama dari
Persatuan Islam yang tinggal di Bandung. Surat-surat keagamaan antara Bung
Karno dan Hassan bahkan menjadi kajian yang sangat menarik bagi para pemerhati
Islam.
Sekalipun begitu toh, dalam salah satu surat Bung Karno
kepada A. Hassan ia menyampaikan terima kasihnya kepada Ahmadiyah. Entah terima
kasih untuk apa. Yang jelas, dalam surat tersebut, Bung Karno juga menuliskan
sikapnya, “Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah seorang nabi dan
belum percaya pula bahwa dia seorang mujadid.”
Itulah Bung Karno, Putera Sang Fajar yang terlahir dengan
berbagai kontroversi, namun demikian tetap tidak dapat kita pungkiri bahwa Bung
Karno adalah anugerah dari Allah SWT untuk bumi Pertiwi.
Biarkan Aku Yang Terluka
Tidak terlalu berlebihan kiranya apabila Bung Karno mendapat
julukan Putera Sang Fajar, secara awam dapat saya katakana bahwa Bung Karno
merupakan sosok yang membawa bangsa ini menuju fajar kemerdekaan.
Seluruh kekuaatan bangsa ini ada dalam genggaman Bung Karno,
merah kata Bung Karno maka merelah seluruh Indonesia, hitam kata Bung Karno
maka hitamlah Indonesia. Perkataan Bung Karno serta ajaran yang disampaikan
akan menjadi isi kepala seluruh bangsa Indonesia.
Melihat dari latar belakang diatas maka yang ada dalam
fikiran kita adalah: Bung Karno akan menggenggam Indonesia samapai saatnya dia
menghadap Sang Pencipta. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup
tentunya melanggar Undang-Undang, tetapi dianggap sebuah kebenaran terutama
oleh masyarakat kalangan bawah. Namun demikian sejarah telah menentukan sesuatu
yang berbeda, dimana akal dan perkiraan manusia tidak lagi mampu memegang serta
menjadi sutradara jalannya sebuah sejarah.
Tulisan yang sangat singkat ini sedikit member gambaran
betapa pedihnya sayatan pedang sejarah.
Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan
Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung
Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali
tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya.
Wajah-wajah tentara yang diperintahkan Suharto untuk
mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan
Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang”.
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang
membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu?” kata Bung Karno. Guruh
menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu” rumah Ibu yang
dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh
tinggal di
Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan
kamu ambil
lukisan atau hal lain itu punya negara”. Kata Bung Karno
lalu ia pergi
ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang
setia.
Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan
itu sudah
ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak
boleh
tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun,
Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu
milik negara”.
Semua ajudan menangis Bung Karno mau pergi, “Kenapa bapak
tidak
melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan” salah satu
ajudan hampir
berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau
apa, kalau
saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit
jikalau
perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan
hidung kita,
perang dengan bangsa sendiri tidak..lebih baik saya yang
robek dan
hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Beberapa
orang dari
dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang
“Pak kami
tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila
bapak pergi
belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk
masak agak enak
dari biasanya” Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh
basi tiga
hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini
perlunya
apa….”
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya
datang
seorang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, bapak segera
meninggalkan
tempat ini” beberapa tentara sudah memasuki beberapa
ruangan. Dalam
pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia
ke dalam
ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia
masukkan
bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos
oblong, Bung
Karno bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini
dengan benar.
Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. “Aku pergi
dulu” kata
Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan
celana panjang
hitam. “Bapak tidak berpakaian dulu” Bung Karno mengibaskan
tangannya,
ia terburu-buru. Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW
kodok ia
minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya,
Kebayoran.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di
pojokan
halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera
Pusaka itu
dirawat hato-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi
daun-daun yang
tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia
sakit ginjal
parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak
kunjung diberikan.
Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba
datang satu
truk tentara ke rumah Sriwijaya. Suatu saat Bung Karno
mengajak
ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk
jalan-jalan. Saat
melihat duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku..Tri, Sing
Ngelah Pis,
aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya juga sedikit
ngelihat
dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri
mendatangi tukang
duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada di
dalam mobil”
Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno “Mau
pilih mana Pak,
manis-manis nih” kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung
Karno
berkata “Coba kamu cari yang enak” Tukang Duku-nya merasa
sangat akrab
dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara
Bapak…Bapak…Bapak” Tukang Duku berlari ke teman-temannya
pedagang
“Ada Pak Karno…ada Pak Karno” serentak banyak orang di pasar
mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa tapi dalam hati ia
takut
orang ini akan jadi sasaran tentara karena disangka mereka
akan
mendukung Bung Karno. “Tri cepat jalan”….. Mendengar Bung
Karno sering
keluar rumah maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung
Karno
diasingkan. Di Bogor dia diasingkan ke Istana Batu Tulis dan
dirawat
Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung karno merupakan
gambaran tragis kondisi politik dan sistim alih kekuasaan di Indonesia. Bung
Karno telah memberikan seluruh catatan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia,
walau pada akhirnya di Indonesia pula Bung Karno di campakkan.
Salam Revolusi