- Back to Home »
- filsafat , Kajian , Opini »
- Agama dan Bingkai Dunia
Posted by : Unknown
Jan 3, 2017
Ada tulisan menarik tentang agama dan bingkai dunia yang ditulis oleh isngadi marwah atmadja di kompas. yuk baca tulisannya.
Agama dan Bingkai Dunia
|
Penulis: Isngadi Marwah Atmadja
Kompas, |
ABAD ke-21 yang baru kita tapak sekarang
ini dapat dikatakan sebagai abad yang paling menyakitkan bagi kaum agamawi.
Dikatakan demikian, mengingat komitmen keagamaan kerap kali menjadi faktor
sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan di seluruh dunia.
Beberapa berita utama surat kabar di
seluruh dunia menampilkan judul-judul : "Hindu dan Muslim di Ujung
Peperangan Khasmir", "Kristen Serbia Diadili atas Pelaku Tindak
Kekerasan Terhadap Muslim Bosnia", "Militan Yahudi Membunuh Puluhan
Kaum Muslim di Kamp Pengungsian", "Militan Muslim Menewaskan Belasan
Orang Israel Melalui Bom Bunuh Diri di Restoran Pizza Yerussalem",
"Pemeriksaan Pengadilan Mulai Mengarah kepada Menteri Kristen
Fundamentalis dalam Kasus Doktor Aborsi", dan masih banyak lagi.
Dalam koridor semacam ini menjadi sangat
beralasan apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa agama adalah sumber
masalah dari dunia keagamaan yang cenderung bersifat anakronistik (tidak cocok
untuk zaman tertentu) memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan klaim
kebenaran yang saling berlawanan dapat dipastikan akan berujung dengan konflik.
Akan tetapi, menyatakan agama semata-mata sebagai sumber masalah jelas tidak arif
dan a-historis, karena selama berabad-abad pula orang bisa melihat iman yang
memperteguh kehidupan telah menopang dan memberi makna bagi jutaan orang. Maka
sungguh tepat apabila ada yang menyatakan kalau berbicara tentang agama berarti
berbicara tentang sebuah paradoks.
Hanya saja yang lebih mengkhawatirkan
sekarang ini adalah paradoks tersebut berjalan semakin timpang. Beberapa
dasawarsa terakhir ini kita dipaksa menyakinkan serangkaian tragedi semisal
teror 11 September 2001, bom Bali, kasus gas beracun Aum Shinrikiyo pimpinan
Asahara Shoko di Jepang, bom Oklahoma, kehancuran Afganistan, Perang Khasmir,
kekerasan tentara Israel atas sipil Palestina, bunuh diri massal di People
Temple pimpinan Jim Jones di Guyana, gerakan David Koresh di Texas, dan lain sebagainya.
Atau dalam spekturm kecil keindonesiaan seperti kasus Poso, Ambon, Papua, Aceh,
bom Marriott, bom Natal, dan yang semacamnya. Wajah teduh agama semakin hilang,
Yang tersisa hanya kebringasan, dan hari-hari belakangan ini-- atas semua
peristiwa yang terjadi-- agama pun dikenal sebagai sebuah nama yang membuat
gentar dan cemas.
Paradok-paradoks itulah yang dijadikan
konteks Kimball dalam menulus buku yang berjudul asli When Religion Becomes
Evil ini. Gagasan guru besar agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat
(AS) ini berangkat dari semua jejak
historis yang menunjukkan kegagalan agama dalam memberikan keselamatan, cinta,
dan perdamaian kepada umat manusia. Akan tetapi Kimball tidak mengajak kita untuk
menyerah kepada semua pesimisme itu,
sebaliknya dengan optimisme yang agak berlebihan ia malah menunjukkan kalau
kita bisa mengolah aneka paradoks yang ada, maka agama dalam milenium baru ini
justru akan bisa menjadi jalan dan pemberi keselamatan, cinta serta perdamaian
yang dibutuhkan manusia.
Sebagai kata kunci untuk bisa keluar dari
jebakan sifat agama yang cenderung anakronistik dan suka berkonflik tersebut,
agama harus kembali pada sifat autentiknya. Itulah modus keberagamaan yang
tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada
sebuah iman hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Agama autentik di sini
harus dipahami sebagai lawan dari agama yang telah mengalami proses pengkorupan
dan pembusukan. Proses pembusukan dan pengkorupan ini paling sering dimulai dengan
menjadikan komponen religius-- yang sebenarnya hanya sarana-- menjadi
tujuannya.
Misalnya agama Yahudi yang menjadikan
terciptanya negara bagi bangsa Israel di tanah yang menjanjikan Tuhan, sebagai
tujuan agamanya yang berarti harus mengusir bangsa Arab di tanah Palestina.
Sedang umat Isalam di Palestina juga menganggap bahwa melindungi Masjid Al-Aqsa
sebagai tujuan agamanya pula. Konflik ini sama persis dengan yang terjadi di
India yang memperebutkan masjid bekas kuil Raja Ram di Ayodya. Demikian pula cita-cita
terciptanya komunitas Kristiani yang eksklusif bagi agama Kristen di masa awal
yang akhirnya berkembang menjadi memusuhi komunitas Yahudi adalah contoh yang
lain lagi.
Beberapa problem yang bisa menjadi akar
kekerasan religius tersebut dicoba ditelusuri dan dipetakan oleh Kimball
sehingga semua sumber kinflik itu dapat dijelaskan dengn runtut sekaligus
dicarikan beberapa jalan keluar yang agak cerdas. Khusus pada solusi konflik
kepentingan politis yang menyeret-nyeret sentimen keagamaan, pakar sejarah dan
perbandingan agama semit (Islam, Yahudi, Kristen) ini menyarankan dunia untuk
belajar kepada sosok Mahatma Gandhi. Gandhi mempunyai tujuan jelas, sesuai
dengan ajaran agamanya, namun dalam merealisasikan tujuannya itu ia tidak
pernah mengecualikan kelompok mana pun. Ia malah mengajak kelompok dalam
mewujudkan tujuannya. Lebih dari itu, Gandhi tidak pernah mengubah tujuan
menjadi sarana, dan memutlakkan sarana menjadi tujuan.
Pada bagian lain Kimball juga melontarkan
kritik yang cukup tajam dan beberapa doktrin teologi agama monoteisme. Menurut
Kimball, sekarang ini teologi tidak lagi berhak bertanya, apakah umat di luar
agamaku diselematakan atau tidak? Apabila bertanya bagaimana mereka bisa
diselamatkan? Teologi harus meninggalkan perspektif sempit tersebut. Teologi
mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang
menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terduga dan mungkin agamaku tidak cukup
menyelaminya secara sendirian. Maka teologi mesti mengambil posisi bahwa bisa
jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami
rencana keselamatan Tuhan tersebut, Dengan demikian teologi pluralisme religius
bukan lagi menjadi teologi teoritis, melainkan teologi praktis. Dari sini
inilah, menurut Kimball, dialog antar-agama bisa dimulai dengan terbuka dan
jujur. Karena harus menyingkirkan keyakinan religiusnya yang paling tinggi
(mengakui agamanya tidak sempurna), pendapat Kimball ini tampaknya masih sulit
untuk bisa diterima oleh mayoritas kaum agamawi apa pun.
Lepas dari berbagai kontraversi yang
menyelubunginya, dalam konteks keindonesiaan buku Kimball ini tampaknya sangat
relevan untuk dibaca saat ini, yang sejak reformasi hingga sekarang selalu
dihadapkan pada pelbagai krisis yang seakan tanpa solusi. Pelbagai masalah kita
hadapi:krisis ekonomi, jurang antara yang kaya dan yang miskin yang semakin
lebar, ancaman perpecahan bangsa, merekahnya gerakan-gerakan fundamentalis, dan
tindak kekerasan merebak di mana-mana. Walaupun bukan sebagai penyebab
satu-satunya, agama sering dituduh sebagai agen yang ikut memperparah semua
krisis tersebut. Untuk semua itu, agama harus mawas diri. Menyingkirkan
kekorupan dan kebusukannya sehingga bisa kembali pada roh autentiknya dan
benar-benar bisa menyumbang sesuatu yang lain dituntut untuk mengatasi krisis
bangsa ini, yakni perdamaian dan kesatuan antara warga negara. Dalam hal ini
buku Tarmizi Taher yang berjudul Membumikan Ajaran Ketuhanan; Agama Dalam
Tranformasi Bangsa (Hikmah/2003) sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai
acuan teknis gagasan Kimball.
Paralel dengan semua pertimbangan yang ada,
khusus dari sisi inklusifisme agama, buku Kimball ini menjadi semakin menarik
apabila sempat diperbandingkan dengan buku The Heart of Islam Karya Seyyed
Hossein Nashr (Mizan/2003; edisi Indonesia) Khaled Abouel-Fadl, The Place of
Tolerance in Islam yang telah diterjemahkan dengan judul Cita dan Fakta
Toleransi Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Arasy/2003), dan History of God-nya
Karen Armstrong (Mizan/2001).